Sabtu, Oktober 1

Seni Bercinta Yang Islami

Sebagai bagian dari fitrah kemanusiaan, Islam tidak pernah memberangus hasrat 
seksual. Islam memberikan panduan lengkap agar seks bisa tetap dinikmati 
seorang muslim tanpa harus kehilangan ritme ibadahnya. 
Bulan Syawal, bagi umat Islam Indonesia, bisa dibilang sebagai musim kawin. 
Anggapan ini tentu bukan tanpa alasan. Kalangan santri dan muhibbin biasanya 
memang memilih bulan tersebut sebagai waktu untuk melangsungkan aqad 
nikah. 
kebiasaan tersebut tidak lepas dari anjuran para ulama yang bersumber dari 
ungkapan Sayyidatina Aisyah binti Abu Bakar Shiddiq yang dinikahi Baginda 
Nabi pada bulan Syawwal. Ia berkomentar, Sesungguhnya pernikahan di bulan
Syawwal itu penuh keberkahan dan mengandung banyak kebaikan.
Namun, untuk menggapai kebahagiaan sejati dalam rumah tangga tentu saja 
tidak cukup dengan menikah di bulan Syawwal. Ada banyak hal yang perlu 
dipelajari dan diamalkan secara seksama oleh pasangan suami istri agar meraih 
ketentraman (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah), baik lahir 
maupun batin. Salah satunya  dan yang paling penting adalah persoalan 
hubungan intim atau dalam bahasa fiqih disebut jima .
Sebagai salah tujuan dilaksanakannya nikah, hubungan intim  menurut Islam
termasuk salah satu ibadah yang sangat dianjurkan agama dan mengandung nilai 
pahala yang sangat besar. Karena jima dalam ikatan nikah adalah jalan halal
yang disediakan Allah untuk melampiaskan hasrat biologis insani dan 
menyambung keturunan bani Adam. 
Selain itu jima yang halal juga merupakan iabadah yang berpahala besar. 
Rasulullah SAW bersabda, Dalam kemaluanmu itu ada sedekah. Sahabat lalu
bertanya, Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat pahala dengan menggauli
istri kita?. Rasulullah menjawab, Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di 
jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di 
jalan yang halal, kalian akan berpahala. (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu
Khuzaimah)
Karena bertujuan mulia dan bernilai ibadah itu lah setiap hubungan seks dalam 
rumah tangga harus bertujuan dan dilakukan secara Islami, yakni sesuai dengan 
tuntunan Al-Quran dan sunah Rasulullah SAW. 
Hubungan intim, menurut Ibnu Qayyim Al-Jauzi dalam Ath-Thibbun Nabawi 
(Pengobatan ala Nabi), sesuai dengan petunjuk Rasulullah memiliki tiga tujuan: 
memelihara keturunan dan keberlangsungan umat manusia, mengeluarkan 
cairan yang bila mendekam di dalam tubuh akan berbahaya, dan meraih 
kenikmatan yang dianugerahkan Allah.

Ulama salaf mengajarkan, Seseorang hendaknya menjaga tiga hal pada dirinya: 
Jangan sampai tidak berjalan kaki, agar jika suatu saat harus melakukannya 
tidak akan mengalami kesulitan; Jangan sampai tidak makan, agar usus tidak 
menyempit; dan jangan sampai meninggalkan hubungan seks, karena air sumur 
saja bila tidak digunakan akan kering sendiri. 
Wajahnya Muram
Muhammad bin Zakariya menambahkan, Barangsiapa yang tidak bersetubuh
dalam waktu lama, kekuatan organ tubuhnya akan melemah, syarafnya akan 
menegang dan pembuluh darahnya akan tersumbat. Saya juga melihat orang 
yang sengaja tidak melakukan jima dengan niat membujang, tubuhnya menjadi
dingin dan wajahnya muram.
Sedangkan di antara manfaat bersetubuh dalam pernikahan, menurut Ibnu 
Qayyim, adalah terjaganya pandangan mata dan kesucian diri serta hati dari 
perbuatan haram. J ima juga bermanfaat terhadap kesehatan psikis pelakunya,
melalui kenikmatan tiada tara yang dihasilkannya.
Puncak kenikmatan bersetubuh tersebut dinamakan orgasme atau faragh. Meski 
tidak semua hubungan seks pasti berujung faragh, tetapi upaya optimal 
pencapaian faragh yang adil hukumnya wajib. Yang dimaksud faragj yang adil 
adalah orgasme yang bisa dirasakan oleh kedua belah pihak, yakni suami dan 
istri. Mengapa wajib? Karena faragh bersama merupakan salah satu unsur 
penting dalam mencapai tujuan pernikahan yakni sakinah, mawaddah dan 
rahmah. Ketidakpuasan salah satu pihak dalam jima , jika dibiarkan berlarutlarut, dikhawatirkan akan mendatangkan madharat yang lebih besar, yakni 
perselingkuhan. Maka, sesuai dengan prinsip dasar islam, la dharara wa la dhirar 
(tidak berbahaya dan membahayakan), segala upaya mencegah hal-hal yang 
membahayakan pernikahan yang sah hukumnya juga wajib. 
Namun, kepuasan yang wajib diupayakan dalam jima adalah kepuasan yang
berada dalam batas kewajaran manusia, adat dan agama. Tidak dibenarkan 
menggunakan dalih meraih kepuasan untuk melakukan praktik-praktik seks 
menyimpang, seperti sodomi (liwath) yang secara medis telah terbukti 
berbahaya. Atau penggunaan kekerasaan dalam aktivitas seks (mashokisme), 
baik secara fisik maupun mental, yang belakangan kerap terjadi. Maka, sesuai 
dengan kaidah ushul fiqih ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajibun
(sesuatu yang menjadi syarat kesempurnaan perkara wajib, hukumnya juga 
wajib), mengenal dan mempelajari unsur-unsur yang bisa mengantarkan jima
kepada faragh juga hukumnya wajib.
Bagi kaum laki-laki, tanda tercapainya faragh sangat jelas yakni ketika jima
sudah mencapai fase ejakulasi atau keluar mani. Namun tidak demikian halnya 
dengan kaum hawa yang kebanyakan bertipe terlambat panas , atau bahkan
tidak mudah panas. Untuk itulah diperlukan berbagai strategi mempercepatnya. 
Dan, salah satu unsur terpenting dari strategi pencapaian faragh adalah 
pendahuluan atau pemanasan yang dalam bahasa asing disebut foreplay

(isti adah). Pemanasan yang cukup dan akurat, menurut para pakar seksologi,
akan mempercepat wanita mencapai faragh.
Karena dianggap amat penting, pemanasan sebelum berjima juga diperintahkan
Rasulullah SAW. Beliau bersabda, J anganlah salah seorang di antara kalian 
menggauli istrinya seperti binatang. Hendaklah ia terlebih dahulu memberikan 
pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu. (HR. At-Tirmidzi). 
Ciuman dalam hadits diatas tentu saja dalam makna yang sebenarnya. Bahkan, 
Rasulullah SAW, diceritakan dalam Sunan Abu Dawud, mencium bibir Aisyah 
dan mengulum lidahnya. Dua hadits tersebut sekaligus mendudukan ciuman 
antar suami istri sebagai sebuah kesunahan sebelum berjima . Ketika J abir
menikahi seorang janda, Rasulullah bertanya kepadanya, Mengapa engkau tidak 
menikahi seorang gadis sehingga kalian bisa saling bercanda ria? yang dapat
saling mengigit bibir denganmu. HR. Bukhari (nomor 5079) dan Muslim
(II:1087).
Bau Mulut
Karena itu, pasangan suami istri hendaknya sangat memperhatikan segala unsur 
yang menyempurnakan fase ciuman. Baik dengan menguasai tehnik dan trik 
berciuman yang baik, maupun kebersihan dan kesehatan organ tubuh yang akan 
dipakai berciuman. Karena bisa jadi, bukannya menaikkan suhu jima , bau mulut
yang tidak segar justru akan menurunkan semangat dan hasrat pasangan. 
Sedangkan rayuan yang dimaksud di atas adalah semua ucapan yang dapat 
memikat pasangan, menambah kemesraan dan merangsang gairah berjima .
Dalam istilah fiqih kalimat-kalimat rayuan yang merangsang disebut rafats, yang 
tentu saja haram diucapkan kepada selain istrinya.
Selain ciuman dan rayuan, unsur penting lain dalam pemanasan adalah sentuhan 
mesra. Bagi pasangan suami istri, seluruh bagian tubuh adalah obyek yang halal 
untuk disentuh, termasuk kemaluan. Terlebih jika dimaksudkan sebagai 
penyemangat jima . Demikian Ibnu Taymiyyah berpendapat.
Syaikh Nashirudin Al-Albani, mengutip perkataan Ibnu Urwah Al-Hanbali dalam 
kitabnya yang masih berbentuk manuskrip, Al-Kawakbu Ad-Durari, 
Diperbolehkan bagi suami istri untuk melihat dan meraba seluruh lekuk tubuh 
pasangannya, termasuk kemaluan. Karena kemaluan merupakan bagian tubuh 
yang boleh dinikmati dalam bercumbu, tentu boleh pula dilihat dan diraba. 
Diambil dari pandangan Imam Malik dan ulama lainnya.
Berkat kebesaran Allah, setiap bagian tubuh manusia memiliki kepekaan dan 
rasa yang berbeda saat disentuh atau dipandangi. Maka, untuk menambah 
kualitas jima , suami istri diperbolehkan pula menanggalkan seluruh pakaiannya.
Dari Aisyah RA, ia menceritakan, Aku pernah mandi bersama Rasulullah dalm 
satu bejana (HR. Bukhari dan Muslim).
Untuk mendapatkan hasil sentuhan yang optimal, seyogyanya suami istri 
mengetahui dengan baik titik-titik yang mudah membangkitkan gairah pasangan 

masing-masing. Maka diperlukan sebuah komunikasi terbuka dan santai antara 
pasangan suami istri, untuk menemukan titik-titik tersebut, agar menghasilkan 
efek yang maksimal saat berjima .
Diperbolehkan bagi pasangan suami istri yang tengah berjima untuk mendesah.
Karena desahan adalah bagian dari meningkatkan gairah. Imam As-Suyuthi 
meriwayatkan, ada seorang qadhi yang menggauli istrinya. Tiba-tiba sang istri 
meliuk dan mendesah. Sang qadhi pun menegurnya. Namun tatkala keesokan 
harinya sang qadhi mendatangi istrinya ia justru berkata, Lakukan seperti yang 
kemarin.
Satu hal lagi yang menambah kenikmatan dalam hubungan intim suami istri, 
yaitu posisi bersetubuh. Kebetulan Islam sendiri memberikan kebebasan seluasluasnya kepada pemeluknya untuk mencoba berbagai variasi posisi dalam 
berhubungan seks. Satu-satunya ketentuan yang diatur syariat hanyalah, semua 
posisi seks itu tetap dilakukan pada satu jalan, yaitu farji. Bukan yang lainnya. 
Allah SWT berfirman, Istri-istrimu adalah tempat bercocok tanammu, 
datangilah ia dari arah manapun yang kalian kehendaki. QS. Al-Baqarah 
(2:223).
Posisi Ijba
Menurut ahli tafsir, ayat ini turun sehubungan dengan kejadian di Madinah. 
Suatu ketika beberapa wanita Madinah yang menikah dengan kaum muhajirin 
mengadu kepada Rasulullah SAW, karena suami-suami mereka ingin melakukan 
hubungan seks dalam posisi ijba atau tajbiyah.
Ijba adalah posisi seks dimana lelaki mendatangi farji perempuan dari arah 
belakang. Yang menjadi persoalan, para wanita Madinah itu pernah mendengar 
perempuan-perempuan Yahudi mengatakan, barangsiapa yang berjima dengan
cara ijba maka anaknya kelak akan bermata juling. Lalu turunlah ayat tersebut.
Terkait dengan ayat 233 Surah Al-Baqarah itu Imam Nawawi menjelaskan, Ayat
tersebut menunjukan diperbolehkannya menyetubuhi wanita dari depan atau 
belakang, dengan cara menindih atau bertelungkup. Adapun menyetubuhi 
melalui dubur tidak diperbolehkan, karena itu bukan lokasi bercocok tanam.
Bercocok tanam yang dimaksud adalah berketurunan. 
Muhammad Syamsul Haqqil Azhim Abadi dalam Aunul Ma bud menambahkan, 
Kata ladang (hartsun) yang disebut dalam Al-Quran menunjukkan, wanita boleh 
digauli dengan cara apapun : berbaring, berdiri atau duduk, dan menghadap atau 
membelakangi..
Demikianlah, Islam, sebagai agama rahmatan lil alamin, lagi-lagi terbukti 
memiliki ajaran yang sangat lengkap dan seksama dalam membimbing umatnya 
mengarungi samudera kehidupan. Semua sisi dan potensi kehidupan dikupas 
tuntas serta diberi tuntunan yang detail, agar umatnya bisa tetap bersyariat 
seraya menjalani fitrah kemanusiannya.

sumber :http://ebookdewasa.110mb.com/Seni-Bercinta-Yang-Islami.pdf

seksualitas Tips: 






0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Host | lasik eye surgery | accountant website design